Tulisan Hukum Jenaka Namun Bernas? Sik to.. Sik to! Saya Tanya lo ini..

“Dek, kamu itu bisa kena pasal 351 KUHP dan nanti bisa ditahan lo!”
“Lha ngopo kok gitu, mas?”
“Iyo, kamu itu telah menganiaya hati dan perasaanku dengan sikapmu belum menerima cintaku. Mbok yo dipikirkan lagi to, dek!”

 

 

Ndausah ditanya gambarnya mana, editornya lagi bingung mau diisi apa

 

Menulis adalah kegiatan yang sangat mudah dan mengasyikan bagi mereka yang lihai menyusun kata demi kata menjadi kalimat memikat. Menghadap mesin ketik -red:komputer- membiarkan jari menari-nari di atas keyboard betuliskan huruf-huruf abjad. Tanpa musik mengiringi, jari-jemarinya sudah menari bagaikan ballerina atau jaipongan di atas pentas. Ingat, itu bagi mereka yang lihai! Sampean? Paling kok belum lihai?

Bagi yang sudah lihai dalam menyambung kata-kata menjadi suatu kalimat, itu sangat mudah. Dalam setiap kalimatnya akan saling terus bersambung hingga membentuk sebuah makna. Kebanyakan tulisan dari mereka akan memberikan sebuah pemikiran baru -ya minimal sudut pandang baru- yang mempengaruhi pembacanya. Menjadi seseorang yang seperti ini lo, tidak mudah! Kata seorang mentor menulis saya, menulis itu membutuhkan ketekunan dan keberanian. Ketekunan dalam menekan rasa malas dan menggantinya menjadi energi positif. Kemudian diubahnya menjadi suatu kegiatan menulis. Keberanian diperlukan dalam menulis untuk melawan rasa insecure dalam diri, kalau bahasa Islam mungkin bisa disebut su’udzon. Belum apa-apa tapi sudah khawatir akan hasilnya, jingin!

Terkhusus bagi mereka yang mempunyai keinginan menulis namun merasakan hal seperti ini, semangat! Seperti saya ini, suka begitu, merasa nda percaya diri. Minggu lalu sedang menulis dan publish tulisan di blog pribadi, Alhamdulillah.. sebuah keberanian telah terbit. Ibarat seorang pemuda yang baru masuk tentara Nippon, siap dan berani mati di medan perang. Kira-kira begitu ketika kemarin mempublish tulisan di blog. Namun begini, tulisan yang awalnya di konsep menjadi sebuah jenaka (guyonan) malah menjadi serius. Tulisan dengan focus hukum pidana di masyarakat harusnya dikemas menjadi tulisan jenaka namun bernas, harapannya begitu. Tapi, kemarin jadinya malah tidak begitu, kaku, nda asyik. Yang kemarin belum baca tulisannya, nih bisa diklik Tindak pidana di masyarakat yangtanpa disadari. Sik to.. Sik to! (Nanti disisipkan linknya disini). Kalau sudah mengunjungi, jangan lupa tinggalkan komentar dan/atau follow blognya. Biar apa? Ya biar kamu dapat update info tentang tulisan di blognya. Edan po piye mergo bene tulisannya apik otomatis.

Menjadi seorang penulis yang menyajikan tulisan jenaka namun bernas itu tidak gampang. Emang aku laki-laki/perempuan gampangan apa? Perlu khazanah ilmu yang luas dan dalam, juga diimbangi selera humor yang tinggi. Tapi, sepanjang tulisan tersebut berangkat dari perspektif hukum, setahu saya belum ada yang jenaka namun bernas. Jika bernas, itu mungkin ada. Karena begini, kebanyakan tulisan yang berangkat dari sudut pandang hukum itu kaku dan pembahasannya serius. Tolong koreksi saya kalau masih kurang benar. Misalkan, sebuah tulisan tentang hukum pidana yang menyoroti tentang tindak pidana pemerasan yang sering terjadi di masyarakat namun kurangdisadari. “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskanpiutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.”

Mungkin begini, tulisan seperti itu dibawakan dengan bahasa yang ringan, namun bernas dan mudah dipahami. Kalau semua kaku dan keras, hati-hati nanti pecah. Sama seperti kaca yang suka pecah apabila mendapat tekanan berlebih. Kayak hati juga, suka pecah kalau cintanya terlalu sayang. Sini sudah sayang banget, situ ninggal pas lagi sayang-sayange. Bisa jadi tulisan dalam perspektif hukum itu dibawakan dengan kaku karena salah satu sifat dari hukum itu adalah menghukum.

Mungkin bisa jadi, nanti akan ada yang membuat tulisan dari perspektif hukum tetapi dibawakan dengan jenaka namun bernas isinya. Untuk mencapai tingkatan seperti itu, pasti diperlukan ketekunan dan keberanian dalam menulis. Dibutuhkan trial dan error, mencoba dan kegagalan yang cukup. Apabila bisa seperti itu, pasti nanti akan memberikan warna baru dalam dunia hukum. Hukum tidak lagi akan dipandang sulit mempelajarinya, sehingga banyak orang yang akan belajar. Akibat jangka jauhnya, banyak masyarakat yang akan mengerti dan paham hukum.

Tapi lo, mas.. yang seperti itu nanti apa tidak akan memunculkan persoalan baru di masyarakat? Contoh, munculnya koruptor yang semakin banyak. Ada yang bisa menjawab?

Tidak, jangan seperti itu mencontohkannya. Kenapa kebanyakan masyarakat itu mencontohkan suatu hal yang jelek dibandingkan baiknya? Apa ini karena peribahasa “Karena nila setitik, rusaklah susu sebelanga”, karena satu kesalahan, rusaklah seluruh kebaikan yang ada pada dirinya? Begini, coba diubah. Contohnya,

 

“Dek, kamu itu bisa kena pasal 351 KUHP dan nanti bisa ditahan lo!”

“Lha ngopo kok gitu, mas?”

“Iyo, kamu itu telah menganiaya hati dan perasaanku dengan sikapmu belum menerima cintaku. Mbok yo dipikirkan lagi to, dek!”

Perempuannya diam.

“Kamu nanti bisa ditahan! Kamu telah menganiaya diriku, kamu patut dikenakan Pasal 351 KUHP dan dipenjara dalam hatiku.”

“Unsurnya telah pasti, ada yang masyarakat yang dirugikan dan diresahkan, yaitu aku dan keluargaku. Terus lagi, meskipun fisiku tidak terluka namun hati dan perasaanku tergores, dek. Saksi-saksi juga ada. Unsur penganiayaannya ada. Lengkap sudah, wes!”

“Mas, awas juga lo, kamu nanti juga bisa kena Pasal 368 KUHP kalau memaksa!

Aku nda takut kok, mas. Karena nanti pasal-pasal akan berbicara dan hukum akan ditegakkan. Aku akan memegang teguh adagium yang terkenal dalam hukum. Itu, yang pernah didengungkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus Fiat Justitia Ruat Caelum. Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh!”

“Nanti masih ada juga proses penyidikan, penyelidikan sebelum ditetapkan menjadi tersangka. Tersangka itu pun juga belum tentu bersalah karena status bersalah itu setelah ditetapkan oleh pengadilan. Jadi, kalau nanti aku dikenakan Pasal 351 KUHP, mas nanti akan aku laporkan dengan Pasal 368 KUHP. Kita lihat, siapa yang pembuktiannya paling kuat.”

“Lho, piye seh, dek? Ojo ngono to!”

 

Jadi, nda perlu kaku gaya penulisan dan bahasanya. Kiranya begitu mungkin kalau orang yang paham hukum namun ada pada tingkatan bucin, jenaka namun bernas. Ya sudah lah, ya. Capek, besok lagi nulisnya.

 

 

 

Tulungagung, 25 Juli 2020/ 4 Dzulhijjah 1441 H

Muhamad AjiP


Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih, bu.
      Mari berproses dan terus mengasah pemikiran dan mendokumentasikannya.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Alhamdulillah.., mohon koreksinya apabila ada yang masih kurang benar, bu. 🙏😊

      Hapus
  3. Wkwkwk ini kegalauan jomblo level akut

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAGANG (Kepailitan)

Sebuah catatan: Pengabdian di Perbatasan Negeri Jiran

SEPEDA TURANGGA, SOEHARTO DAN BUDAYA BERSEPEDA DULU HINGGA SEKARANG