Masyarakat dan Pidana Pemerasan di Dalamnya Yang Tanpa Disadari. Sik to.. Sik to!

Kecuali daerah kita istimewa seperti Aceh, disana bisa dikenakan pidana Islam. Contohnya hukum cambuk bagi yang melakukan tindakan asusila. Itu juga yang melakukan penegakan hukum adalah polisi syariah, bukan warga. Kita hanya bisa mencegah dan mengamankan. Jawab pemuda tersebut sambil menjelaskan sedetailnya, namun tetap belum detail juga. Bisa sampai 6 sks sendiri apabila dijelaskan semuanya. Sudah seperti kuliah hukum pidana dan hukum adat saja.

 

Konsep negara Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Bisa dilihat disana tertulis “Negara Indonesia adalah negara hukum”. M. Yamin menyebutnya sebagai rechtstaat, jelasnya ia menyatakan bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum, tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer tempat dimana mereka mengatur pemerintahan dan keadilan. Bukan tempat badan yang berkuasa bisa melakukan kesewenang-wenangan. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan patutlah berdasarkan hukum (undang-undang) yang berlaku di dalam negara Indonesia. Permasalahannya  sekarang adalah tidak semua masyarakat paham akan hukum dan aturan tertulis di dalamnya meskipun dalam asasnya undang-undang mengatakan bahwa setiap orang adalah paham undang-undang. Jika dibandingkan antara orang yang paham dan yang tidak paham akan undang-undang, bisa dipastikan banyak yang tidak paham. Bahkan, mungkin dari pembaca pun juga ada yang merasakan hal tersebut. Kita tidak boleh manafikan fakta social bahwa di luar  sana masih banyak orang yang tidak paham akan hukum dan undang-undang.

Kehidupan di tengah peradaban pendidikan, seharusnya juga membuat masyarakat semakin sadar akan kebutuhan ilmu. Terutama tentang pemahaman akan hukum dan aturan maupun norma-norma yang hidup di sekitarnya. Bukan acuh dan mengabaikannya. Dapat dikatakan bahwa hukum bertumbuh dan menjadi bagian dari proses sosial masyarakat. Hukum dan masyarakat terdapat suatu hubungan yang saling mempengaruhi. Namun, kembali lagi bahwa tidak semua orang paham akan hukum dan kuantitasnya mereka lebih besar daripada yang paham.

Terus, kira-kira apa sanksi/denda yang dikenakan? Apa disamakan seperti yang
sudah-sudah?
Tanya pemimpin forum dalam sebuah musyawarah lingkungan (rukun tetangga) yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Mereka yang dianggap mampu dan mempunyai kapasitas untuk diajak berdiskusi diundang dalam forum musyawarah ini, termasuk di dalamnya pemuda, tokoh desa yang ada dilingkungan tersebut dan tokoh agama.

Mas, kalau yang sudah-sudah kayak apa? Tanya pelan seorang pemuda yang paling kecil dalam forum itu pada pemuda sebelahnya.

Ndak tahu aku yang sudah-sudah seperti apa. Jawab pemuda tersebut.

Kalau yang sudah-sudah itu diminta sumbangan atau ditarik sekitar 10 atau 15 juta. Tanggapan seorang warga yang mempunyai kapasitas di lingkungan tersebut. Nanti dana itu bisa digunakan buat bikin “cakruk” (pos kampling), kan lumayan. Lanjutnya.

Akhirnya terjawab yang menjadi pertanyaan pemuda paling muda sendiri usianya di forum musyawarah tersebut. Layaknya seorang pengacara yang sedang mencari fakta hukum guna membela hak-hak korban, pemuda tersebut masih menyimak dengan seksama jalannya musyawarah tersebut.

Jadi, itu nanti bisa dibuatkan undang-undang. Lanjut orang yang mengusulkan sanksi tadi. Mungkin yang dimaksud undang-undang oleh orang tersebut adalah hukum tertulis.

Sebelum lanjut, kita bahas terlebih dahulu tentang hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis adalah seperangkat aturan yang tertuang dalam undang-undang. Satu point yang harus diperhatikan disini adalah undang-undang dibuat dan disahkan oleh lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) dan mengikat untuk seluruh masyarakat  Indonesia. Hukum tidak tertulis pada umumnya dipahami oleh para sarjana hukum sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat). Mengutip kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan fakultas hukum Universitas Gajah Mada, menyebutkan:

Dengan menghargai pengertian yang diperkembangkan masing-masing peserta mengenai Hukum Adat, sesuai dengan penegertian hukum yang dianut serta penafsiran yang dipergunakannya, dalam seminar ini Hukum Adat diartikan Hukum Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana-sini mengandung unsur agama.

Unsur-unsur agama yang dimaksud di atas tentu di dalamnya mengandung
norma-norma yang hidup di masyarakat. Seperti norma sosial, norma kesopanan, norma keadilan, norma kesusilaan dan lainnya.

Jelas letak perbedaan antara hukum tertulis dan tidak tertulis. Jika hukum tertulis dibuat dan disahkan oleh DPR dan Presiden, mengikat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sedangkan hukum tidak tertulis adalah hukum adat yang bertumbuh dalam masyarakat Indonesia. Maka, kiranya salah apabila menyebutkan peraturan yang dirumuskan dalam sebuah forum musyawarah kecil sebagai undang-undang. Selain pembuatannya bukan melalui lembaga negara, cakupan mengikatnya pun hanya sebatas masyarakat yang ada di lingkungan tersebut.

Mungkin pernah terjadi di lingkungan anda semua suatu kasus orang atau mahasiswa tertangkap basah sedang melakukan tindakan asusila di suatu tempat, bisa rumah kosong, kontrakan atau kos yang pada akhirnya diminta sejumlah uang  oleh yang mengetahui kejadian tersebut. Berapa jumlah nominalnya? Beragam, bahkan sampai jutaan rupiah. Alasan pemungutan sejumlah uang tersebut adalah kesepakatan lingkungan dan guna memberikan efek jera.  

Jadi, nanti dibuatkan peraturan tertulis yang isinya mengatur tentang denda 10 sampai 15 juta, seperti itu, Pak? Tanya pemimpin forum pada warga tadi.

Iya. Jawabnya.

Sebentar, mas. Kalau nominalnya segitu apa tidak memberatkan? Apa tidak kasihan? Tanya seorang warga yang menjabat sebagai anggota Badan Pengawas Desa (BPD).

Itu nanti jatuhnya malah ke pemerasan. Lanjutnya.

Pemuda yang dari tadi menyimak berjalannya musyawarah tersebut akhirnya buka suara. Nyuwun sewu kagem sedoyo bapak-bapak dateng mriki, tanpa mengurangi rasa hormat. Apabila nanti ditemukan tindakan seperti itu (asusila) di lingkungan kita lalu orangnya diminta sejumlah uang 10 sampai 15 juta, itu sudah masuk ke dalam pemerasan, Pasal 368 ayat (1) KUHP. Ancamannya tidak main-main, paling lama Sembilan tahun penjara. Coba dipikirkan, bagaimana apabila, nyuwun sewu, yang terkena kasus tersebut adalah anak dari bapak, apakah tidak syok memikirkannnya?

Nominal uang segitu bagi orang kaya mungkin tidak masalah, namun bagi yang tidak punya, bagaimana? Manusia berbuat hal demikian seperti hal yang sudah banyak terjadi di masyarakat. Kita semua manusia dan berpotensi seperti itu. Mencoba pemuda tersebut beretorika.

Lantas, apabila kejadian tersebut terjadi di suatu rumah kos atau kontrakan, siapa yang menanggung beban nominal sanksi segitu? Pemuda tersebut berusaha melempar kembali permasalahan pada forum.

Ya, nanti yang nanggung berdua, orangnya itu dan pemilik kos. Jawab seorang warga.

Lalu, bagaimana jika begini keadaannya, pemilik kos mengetahui kejadian itu dan mengamankan pelaku, kemudian melapor pada ketua RT setempat? Tanya pemuda tadi.

Ya tetap ditarik. Biar nanti ada efek jera bagi pemilik kos juga. Sahut seorang
bapak-bapak lain.

Jadi tetap ditarik? Mengapa tetap ditarik, padahal pemilik kos sudah mempunyai iktikad baik untuk melaporkan kejadian tersebut pada RT setempat?  Pemilik kos sudah menyadari bahwa sebenarnya tindakan asusila itu adalah salah, satu. Kedua, pemilik sebenarnya dengan melaporkan kejadian tersebut pada RT setempat artinya tidak ingin kosnya digunakan sebagai tempat berbuat tidak semestinya. Ketiga, lebih baik
pemilik-pemilik kos yang mengetahui kejadian tersebut bisa jadi berfikiran  “daripada saya laporkan dan kena denda, lebih baik aku usir saja langsung, tidak boleh kos disini lagi bagi orang itu”. Mengapa begitu, pemilik kos pasti sadar, bahwa ketika melaporkan nanti dan dikenakan denda pastilah ia mengalami dua kerugian. Satu, kerugian financial. Kedua, kerugian social. Padahal ia sudah beriktikad baik melaporkan kejadian tersebut pada RT setempat sebagai pemangku lingkungan setelah desa. Kerugian sosialnya, masyarakat yang tidak paham akan cerita sebenarnya nanti akan berfikiran ternyata kos itu digunakan sebagai tempat yang tidak benar. Akibat terburuknya pemilik kos akan dinilai buruk pada lingkungannya.
Jawab pemuda yang paling muda di forum musyawarah tersebut. Menjelaskan panjang lebar.

Terus menurut sampean apa sanksi yang tepat? Tanya seorang bapak-bapak yang mengusulkan sanksi dikenakannya denda pada dua pihak.

Menurut saya, yang paling tepat adalah dibuatkan surat pernyataan satu sampai dua kali dan didatangkan kedua keluarganya kesini. Satu, dua kali masih mengulangi, jalan terakhirnya adalah diusir dari lingkungan. Bahkan, bagi mereka yang malu akan pergi sendiri dari lingkungan. Kita mau menarik denda sebesar apapun tetap masuk dalam tindak pidana. Sebenarnya bukan terletak pada besaran nominal, namun unsur objektifnya, yaitu perbuatan memaksa, baik dengan kekerasan maupun dengan ancaman guna menguntungkan diri sendiri/orang lain. Itu sudah masuk ke dalam unsur objektif pidana. Subjeknya, orangnya yang memaksa, ada. Kedua unsur sudah terpenuhi. Saksi adalah warga sekitar yang mengetahui sendiri, mendengar cerita atau berada di lokasi. Sudah, bisa dilaporkan ke polisi atas tindak pidana pemerasan apabila tetap ada penarikan sejumlah nominal uang dan pihak yang ditarik tidak terima. Karena bagaimana pun perundang-undangan kita tidak ada yang menjerat pelaku tindak asusila apabila keduanya saling, nyuwun sewu, suka. Ini kelemahannya. Kecuali daerah kita istimewa seperti Aceh, disana bisa dikenakan pidana Islam. Contohnya hukum cambuk bagi yang melakukan tindakan asusila. Itu juga yang melakukan penegakan hukum adalah polisi syariah, bukan warga. Kita hanya bisa mencegah dan mengamankan. Jawab pemuda tersebut sambil menjelaskan sedetailnya, namun tetap belum detail juga. Bisa sampai 6 sks sendiri apabila dijelaskan semuanya. Sudah seperti kuliah hukum pidana dan hukum adat saja.

Pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, mamaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Mari kita bedah sedikit mengapa tindakan yang dilakukan warga menarik denda sejumlah uang terhadap pelaku tindak asusila guna memberikan efek jera termasuk dalam tindak pidana pemerasan. Sebenarnya, segala tindakan yang mengandung unsur pemaksaan guna menyerahkan barang, sesuatu yang dimiliki orang lain untuk dimiliki tergolong dalam pidana pemerasan.

Dalam hukum pidana sebelum seseorang bisa disebut sebagai tersangka dan dijerat pidana, minimal ada dua alat bukti. Dalam alat bukti tersebut salah satunya bisa ditemukan dalam dua unsur berikut. Unsur-unsur yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif yang berkaitan dengan orang (pelaku/korban), sedangkan unsur objektif berkaitan dengan peristiwa, benda/barang, waktu, dan tujuan.

Unsur subjektif tindak pidana pemerasan antara lain, dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Unsur manusia yang mempunyai kepentingan dalam hal pemerasan tersebut haruslah ada.

Unsur objektif antara lain, perbuatan memaksa, ancaman kekerasan, tujuan. Perbuatan memaksa dan ancaman kekerasan disini termasuk ucapan lisan maupun dengan perbuatan. Misal ditunjukkannya alat untuk mengancam berupa pisau.  Tujuan yang dimaksud adalah berupa penguntungan bagi yang mengancam, yaitu guna memiliki benda atau barang milik korban. Di masyarakat seperti yang dijabarkan di atas, sering terjadi pemerasan dengan alasan untuk membayar uang denda, padahal itu semua merupakan masuk ke dalam tindak pidana pemerasan.

Dengan telah terpenuhinya dua unsur tersebut, maka telah jelas ada satu alat bukti, yaitu tindakan penyerahan barang atau benda dari korban kepada pemeras. Masih kurang satu alat bukti? Tenang. Dalam transaksi atau penyerahan barang dari korban kepada pemeras pasti di sekitarnya ada saksi yang melihat secara langsung. Persaksian dari saksi tersebut bisa dijadikan alat bukti. Sudah terpenuhi dua alat bukti. Pengakuan dari pelaku pemerasan dalam persidangan juga bisa menjadi alat bukti. Cukup, tiga alat bukti sudah sangat kuat untuk menjadikan pelaku (tersangka) menjadi terdakwa tindak pidana pemerasan.

Tindakan penarikan denda  oleh masyarakat sebenarnya tidak ada dasar (tertulis) yang kuat, seperti undang-undang yang berlaku mengikat seluruh masyarakat Indonesia. Adapun kesepakatan antar warga yang digunakan sebagai dasar, dalam pandangan hukum itu masih belum kuat. Dalam pengecualian wilayah tersebut mempunyai hukum adat yang disepakati dan diakui oleh pemerintah setempat. Namun, bukan berarti apabila terjadi tindakan yang tidak pantas (asusila) di lingkungan lalu dibiarkan, tidak. Namun, berhati-hati itu perlu. Masyarakat bukan lembaga penegak hukum, maka tindakan penegakan hukum bijaknya diserahkan kepada yang mempunyai kuasa atasnya.

Kesimpulannya, lebih berhati-hati. Apabila masyarakat yang melakukan penarikan uang dengan nominal fantastis pada pelaku yang sejatinya mengerti akan hukum, maka harus berhati-hati. Tulisan ini bukan bermaksud mendiskriditkan pencegahan, penertiban dan pengamanan lingkungan dari perbuatan-perbuatan yang tidak sewajarnya, namun memberikan arah sebatas apa tindakan yang harus dilakukan. Kembali lagi, Indonesia adalah negara hukum, maka apa saja yang dilakukan seyogyanya selaras dengan undang-undang. Masyarakat harus berpikiran terbuka dan mau untuk belajar.

 

 

Muhamad Ajip,

Tulungagung, 24 Dzul Qa’dah 1441H/16 Juli 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAGANG (Kepailitan)

Sebuah catatan: Pengabdian di Perbatasan Negeri Jiran

SEPEDA TURANGGA, SOEHARTO DAN BUDAYA BERSEPEDA DULU HINGGA SEKARANG