Krentek Ati; Kisah Ziarah Wali RI

            Bulan April lalu saya mudik ke tanah kelahiran di Jawa Timur, tepatnya kabupaten Tulungagung kota yang terkenal dengan 1001 warung kopinya, budaya nyethenya dan kerajinan marmernya. Tujuan mudik kali ini bukan hanya untuk merayakan hari raya Idul Fitri di kampung halaman, namun juga ada agenda lainnya yang akan dilakukan, salah satunya adalah melaksanakan walimatul usry. Ya, meskipun sudah terhitung satu tahun sejak pernikahan saya di Lampung (rumah istri), namun keinginan orang tua untuk membahagiakan dan menyiarkan kebagiaan mereka atas pernikahan putra pertamanya tetap ada. Matur nuwun sanget, ibu bapak. Saya paham akan kesunnahan untuk menyiarkan kabar gembira pernikahan seseorang ke khalayak dan keluarga besar. Untuk itu, saya yakin banyak keberkahan yang diperoleh kedua orang tua saya. Aamiin Aamiin Aamiin,

           Agenda lainnya yang sudah sangat ingin saya lakukan semenjak berada di tanah rantau adalah silaturrahim kepada para guru dan kembali mengunjungi (ziarah) makam para wali di wilayah Jawa Timur, khususnya Gus Miek (Kediri), Gus Dur (Presiden ke-4 Republik Indonesia, tokoh Nahdlatul Ulama), kyai Ageng Muhammad Besari (Ponorogo) dan beberapa makam waliyullah di Tulungagung. Namun, agenda ziarah kali ini hanya bisa terlaksanakan satu saja, yaitu di makam Gus Dur di Jombang. Ketika hati sudah krentek (mempunyai keinginan yang sangat) maka begitu mudah bagi Tuhan menjawabnya. Di sini saya percaya adanya jalur langit yang tiada batas dan sekat. Kun, lan Gusti sampun tumindak, bekehendak mangka sayogya bakal karupa sing dikerso. Maka, apabila kalian mempunyai suatu keinginan, janganlah berputus asa. Percaya apa yang ada dihidup kalian sudah ditanggung oleh Tuhan yang Maha Kaya. Menuruti apa maumu tidak akan membuat Tuhan menjadi melarat. Tetapi, mensyukuri apa yang telah diberikan-Nya justru akan menambahkan keberkahan dan rejeki kalian.

            Sedikit cerita, mengapa saya mempunyai keinginan menziarahi makam para waliyullah di tanah kelahiran. Pertama, sejak awal saya telah tumbuh dan besar di keluarga dengan kultur nahdliyin yang kental. Sejak kecil, saya sudah dikenalkan akan budaya mengirimkan do'a bagi orang yang sudah tiada. Selain itu, budaya ziarah kubur sudah diajarkan oleh kedua orang tua dan si mbah saya dulu kala, seperti tradisi geren (orang Tulungagung menyebutnya). Geren ini adalah istilah lokal wilayah karisidenan Kediri untuk menyebut ziarah kubur saat menjelang bulan Ramadhan maupun bulan Syawal. Kedua, belum menemukan tempat yang se-nyess di tanah kelahiran untuk melakukan ziarah. Tidak tahu mengapa, mungkin karena keadaan wilayah yang berbeda. Di sini memang belum begitu populer tradisi ziarah wali seperti yang dilakukan orang-orang nahdliyin di Jawa sana. Meskipun tidak menampik juga ada beberapa makam waliyullah dari jalur habaib dan sayyid di sini. Namun, banyak yang masih dimasturkan, hanya beberapa yang dimunculkan dan tidak begitu populernya ziarah kubur di makan waliyullah. Ketiga, suasana nyess yang kental akan budaya yang jika ditelusuri akan menunjukkan betapa dalam koneksi antara manusia dengan Tuhannya (di tanah Jawa). Maksudnya adalah ada tempat-tempat tertentu yang mudah untuk konsentrasi melakukan do'a. Tentu ini hanya klaim sepihak saja dan bersifat subjektif karena memang tulisan ini berdasarkan pengalaman personal saya sendiri. Oleh karena itu dimungkinkan bisa terjadi perbedaan persepsi, namun itu wajar.

            Kita sebagai seorang nahdliyin pasti lekat dengan tradisi ziarah kubur. Di sana memang tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu tempat yang mustajab untuk berdo'a. Tidak jarang setelah melakukan ziarah dan menumpahkan segala hal dan hajat, hati akan menjadi lebih lega, pikiran menjadi lebih tenang. Kembali ke cerita saya ziarah makam Gus Dur. Tidak dinyana, tidak dikira tepat pukul 10.30 waktu bagian Tulungagung, malam ke-30 bulan Ramadlan ada pesan masuk dari keponakan saya yang pada intinya mengajak untuk ziarah makam waliyullah, bilangnya "mumpung saya ada di rumah, kapan lagi kan". Tanpa pikir panjang, saya iyakan ajakan tersebut dan izin ke istri untuk berangkat ziarah. Kebetulan saya dan beberapa keponakan merawat majelis sholawat anak kecil-muda, jadi ikatan diantara kami sudah begitu lekat. Seperti biasa, malam itu kami memutuskan untuk berkumpul di markas, yaitu mushola dekat rumah yang bisa dibilang pemangkunya masih saudara dari jalur nenek saya. Tepat pukul 11.30 waktu bagian Tulungagung kita berkumpul.

           Malam itu kita berangkat berlima, saya, dua keponakan yang salah satunya putra pemangku mushola dan dua lainnya adalah teman yang memang sudah biasa bersua di majelis sholawat kami. Diantara dua lainnya, salah satunya adalah santri PP Tebuireng, Jombang dimana persarean Gus Dur berada. Saya bilang dalam hati "kebetulan, beginilah Tuhan memberikan surprise pada hambanya, meskipun diri saya masih berlumuran dosa". Mobil sudah ada plus sopirnya, kalau masalah bensin saja kami bisa urunan, beruntungnya. Estimasi waktu tempuh kurang lebih dua jam perjalanan dengan mengendarai mobil. Namanya juga santri, meyakini dan mengamalkan kaidah menyegerakan perbuatan baik itu merupakan keutamaan, tanpa babibu, tanpa fafifu kami segera gasss otw Jombang. Singkat cerita pukul 02.00 waktu Jombang  kami sampai di Tebuireng. Kami berjalan dari parkiran mobil menuju pesarean utama melewati jalan setapak dan lorong yang di sisi kiri kanannya dipenuhi dengan penjual souvenir seperti kaos dengan quotes-quotes Gus Dur dan lain sebagainya. Suasana lengang, tidak begitu ramai. Maklum karena memang malam akhir Ramadlan, banyak orang berada di rumah mempersiapkan diri untuk menyambut hari raya, apalagi ini sudah dini hari. Justru kami ini yang melakukan perjalanan jauh. Kata salah satu keponakan saya, untuk closingan Ramadlan tahun ini.

            Sesampainya di pesarean kami langsung mengambil posisi untuk melakukan uluk salam di depan pesarean Gus Dur. Selayaknya kita bertamu ke rumah orang, adabnya adalah memberikan salam terlebih dahulu sebelum dipersilahkan masuk oleh yang punya rumah. Selepas uluk salam, kami mengambil posisi di joglo dekat pesarean utama. Terlihat beberapa santri laki-laki sedang berdo'a juga. Sepertinya mereka adalah santri yang tidak pulang dan memilih menghabiskan waktu liburan di pondok. Ada juga beberapa rombongan orang luar yang sedang berdo'a di dekan pesarean. Di sana semua do'a dan hajat dicurahkan, termasuk hajat dan salam dari istri saya untuk beliau-beliau waliyullah. Kami berdo'a khusyuk memanjatkan setiap harapan dan keinginan. Diajaran kami percaya adanya wasilah dari orang sholeh (waliyullah), sehingga do'a dan hajat yang dipanjatkan akan lebih mudah, lebih cepat diijabah Tuhan. Mumpung sedang berada di tempat ini, saya curahkan semuanya, karena memang rindu ini sudah tidak terbendung lagi untuk melakukan ziarah wali. Rasanya bahagia sekali bisa kembali ke tempat ini. 

Pukul 03.00 waktu Jombang kami selesai ziarah. Tidak lupa mumpung juga berada di tempat ini kami mengabadikan moment.






            Keluar dari Tebuireng, sayup-sayup terdengar lantunan takbir di beberapa mushola masjid. Perbedaan penetapan awal bulan Syawal memang sudah lumrah terjadi di negeri ini, aman aman aman. Kami lebarannya tetap mengikuti keputusan hasil sidang isbat Kementerian Agama RI. Karena jam sudah menunjukkan waktu untuk sahur, akhirnya kami memutuskan untuk sahur on the road. Alhamdulillah.., ketemu warung yang masih buka sehingga kami bisa menikmati makan sahur dan sedikit sebat sebatang dua batang rokok. Selesai sahur, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Tulungagung. Seperti biasa, banyak kendaraan dari penjual sayur yang berlalu-lalang pergi ke pasar untuk berjualan. Inilah suasana-suasana yang saya rindukan juga selama setahun berada di perantauan. Melihat para pedagang berangkat pagi-pagi ke pasar untuk mencari rezeki. Akhirnya rasa rindu ini terbayarkan lunas, meskipun ada beberapa makam waliyullah yang belum sempat diziarahi. Namun, saya yakin ini cara Tuhan untuk membuat saya bisa kembali ke tanah kelahiran lagi. Bisa jadi jika malam itu semua diziarahi, maka saya di tahun depan tidak mudik dan ziarah lagi.

                Iman dan hati manusia itu layaknya energi yang tersimpan di baterai smartphone. Iman dan hati manusia itu juga perlu dicharge untuk diisi daya. Jika energinya habis, maka tidak bergunlah smartphone itu. Namun, jika masih full energi, mau dilakukan untuk apapun tetap mendukung performa maksimal. Adakalanya kadar iman dan rasa hati manusia itu menurun. Ini ditandakan dengan beberapa gejala seperti gelisah dan rasa sumpek dalam hati. Salah satu cara saya menghilangkan rasa gelisah dan sumpek adalah dengan cara recharge hati melalui ziarah di makam para wali. Insyaallah, berkat ziarah di makam mbah wali semua kegelisahan dan kesumpekan dalam hati akan terobati, plong, lega dan segala urusan dimudahkan oleh Tuhan kami.


14 Mei 2023/23 Syawal 1444 Hijriyah


Muhamad AjiP,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAGANG (Kepailitan)

Sebuah catatan: Pengabdian di Perbatasan Negeri Jiran

SEPEDA TURANGGA, SOEHARTO DAN BUDAYA BERSEPEDA DULU HINGGA SEKARANG