Mengawali karir sebagai seorang akademisi
Mengawali karir sebagai seorang akademisi memang harus siap dengan segala risiko yang ada di depan. Risiko pengabdian di masyarakat, pengabdian pada negara, pengabdian pada ilmu pengetahuan, risiko hidup di dearah terluar, terpencil, dan masih banyak risiko lainnya yang belum tercatat. Risiko-risiko yang disebutkan itu masih sebagian kecil dari yang ada. Meskipun menjadi akademisi penuh dengan risiko-risiko namun tetap tidak menyurutkan tekad dan minat saya menjadi akademisi.
Umur yang sekarang baru berusia 27 tahun lebih 7 bulan telah mengantarkan saya menjadi seorang pengajar di salah satu kampus negeri di Indonesia. Sebelum berpindah ke kampus terluar dari wilayah Indonesia, awalnya saya mengajar di kampus yang notabanenya dekat dengan tempat tinggal saya, bahkan masih satu wilayah provinsi. Namun karena suatu hal dan sebab, saya memutuskan untuk mengambil kesempatan bergabung ke kampus di mana saya mengajar sekarang, STAIN Bengkalis.
Terletak di wilayah paling luar Indonesia kampus saya berusaha untuk terus berinovasi dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban. Indonesia sebagai bangsa yang wilayahnya sangat luas mempunyai kebudayaan yang majemuk di masyarakatnya. Di sini sebab letak geografis dekat dengan Malaysia yang terkenal dengan suku melayunya, kurang lebih Bengkalis pun juga sama kiranya didominasi oleh melayu.
Perjalanan menjadi seorang akademisi mengantarkan saya sampai ke sini. Berasal dari tanah Jawa yang kemudian pindah ke tanah Melayu. Awal mulanya sampai banyak shock culture yang saya rasakan, mulai dari makanan, hingga publik masyarakatnya. Namun, sebagai pembalajar tentu harus tetap mampu belajar dan menyesuaikan dengan tempat di mana tinggal tanpa harus mengubah prinsip dasar diri yang telah sesuai dengan nilai-nilai agama.
Sebagai bentuk pengabdian di masyarakat, melalui penunjukkan oleh Wakil Ketua III saya dan beberapa teman ditugaskan untuk mengisi kultum (kuliah tujuh menit) menjelang sholat tarawih bulan puasa 1443 H lalu. Terjun ke dalam masyarakat yang berbeda culture dan budaya tentu membawa suasana yang berbeda pula.
Saya pernah didawuhi oleh seorang Guru Besar dari almamater tempat saya studi jenjang S1-S2, alm. Prof. Hasyim Nawawie. Beliau berpesan setelah sidang tesis saya digelar, "Mas, kita harus mampu menyesuaikan dengan zaman dan tempat dimana kita diletakkan oleh Tuhan. Sebab, kita adalah makhluk pembelajar. Perintah pertama dalam agama kita yang diturunkan kepada Sayyidina Nabi Muhammad SAW adalah untuk membaca, yang artinya disitu tersirat pesan/makna untuk kita terus belajar" hingga sekarang saya masih mengingat pesan beliau. "Kita adalah makhluk pembelajar". Maka, tiada hentinya untuk terus belajar. Teringat sebuah hadist,
أُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
Kita akan dan harus terus belajar sejak dilahirkan hingga meninggal kelak.
Bengkalis, Rabu 23 Mei 2022
Komentar
Posting Komentar