Soekarno dan Perempuan
Soal perempuan itu soal yang amat penting. Soal perempuan itu adalah soal masyarakat!
Dalam
bercinta, lelaki berbangga dengan kemenangannya meraih perempuan, sedangkan
perempuan berhias dengan ketaklukannya di hadapan lelaki. Lelaki berbangga
dengan mengatakan, “Aku telah menaklukkan perempuan A, B, dan C,” dan perempuan
berbangga dengan mengatakan, “Aku telah menolak lelaki A, B, dan C.”
Ketika
seorang lelaki menangis di hadapan perempuan, sesungguhnya ia telah menyentuh
keangkuhan perempuan itu, dan ketika seorang perempuan menangis di hadapan
lelaki, sesungguhnya ia telah menimbulkan rasa iba lelaki kepadanya.
Lelaki
memahami apa yang dia dengar, sedangkan perempuan mendengar apa yang dia tidak
pahami.
Tulisan di atas adalah beberapa kutipan dari Habib M.
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan.
Perempuan memang
menarik untuk dibicarakan. Semua keindahan yang ada dalam dirinya sudah jadi
pasti menarik perhatian dari lelaki yang memandangnya. Tanpa suatu sentuhan
fisik, ia mampu menggetarkan hati lelaki yang menatap paras cantiknya. Tanpa suatu..
Ia bukan hanya
tentang adanya perbedaan alat kelamin serta rahim dan kandungan yang ada dalam
tubuhnya, namun lebih dari itu. Ketika seseorang memandang perempuan hanya
berdasarkan fisiknya, maka bolehlah juga lelaki mendapatkan perlakuan sama? Tentang
adanya jakun, bulu hidung yang panjang, kumis serta jenggot yang tebal. Namun,
sesungguhnya semua itu tidaklah patut. Banyak sekali hal lain di luar itu semua
yang masih patut untuk dihargai. Lelaki dan perempuan sebagai suatu makhluk,
mempunyai kesempatan yang sama. Mereka sama-sama berhak memperoleh makan dan minum
yang sama, berhak memeluk keyakinannya, berhak mendapatkan pendidikan yang sama
juga.
Bung pernah
berkata, “...Tetapi sesudah kita
memproklamasikan kemerdekaan, maka menurut saya soal perempuan itu perlu dengan
segera dijelaskan dan dipopulerkan. Sebab kita tidak dapat menyusun negara dan
tidak dapat menyusun masyarakat, jika (antara lain-lain soal) kita tidak
mengerti soal perempuan.”
Pandangan Bung
tentang perempuan bisa digambarkan betapa besar peranan perempuan dalam
kehidupan. Bukan hanya antar manusia satu dengan satu lainnya, namun juga dalam
hal berbangsa dan bernegara perempuan mempunyai peran besar dimatanya.
Meskipun, tidak bisa dipungkiri bahwa pernah ada ketidak selarasan antara
pemikiran Bung dengan organisasi perempuan di Indonesia kala itu.
Perempuan kala itu
merasa menjadi objek yang tidak merdeka, hanya untuk seksualitas belaka, mereka
melawan! Pernikahan Bung dengan Hartini menimbulkan gemuruh hebat di negeri
ini. Fatmawati yang kala itu menjadi istri Bung, menolak!
“Tapi
aku cinta padamu dan juga cinta Hartini,” kata Bung.
“Oo, tak bisa begitu.” Tolak Fatmawati.
Pernikahannya dengan
Hartini memunculkan banyak kecaman dari berbagai aktivis perempuan. Persatuan Istri
Tentara (Persit), Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) menganggap
perbuatan Bung sebagai suatu tindakan yang merendahkan martabat perempuan.
Namun, disini letak perlunya kemerdekaan seorang perempuan diperjuangkan.
Mari kita
tinggalkan tentang kegaduhan yang dibuat Bung dengan para wanita itu. Dibalik
itu semua, Bung mempunyai pandangan dan pemikiran penting tentang perempuan,
utamanya tentang kemerdekaan perempuan dalam menyuarakan pendapat dan akses
pendidikan yang setara dengan lelaki. Ia sangat menentang patriarkat sebagai
sistem yang diterapkan mutlak dalam suatu masyarakat. Di matanya, sistem dan
tatanan masyarakat seperti itu sangatlah merugikan perempuan.
Perbudakan dan
perbudakan perempuan sebagai objek seksualitas belaka sangat merisaukan Bung. Seperti budaya Nippon. Bung menyebutkan
perempuan di negara Nippon (sekarang Jepang) pada saat itu tidak mempunyai
kemerdekaan. Mereka dinikahkan oleh bapak mereka pada saat usianya belia, sepuluh
tahun ke atas. Disaat keadaan ekonomi keluarga sedang berada di bawah, hingga
tamu hanya diberikan suguhan air putih saja, mereka (bapak) menjual anaknya
kepada seorang pria kaya. Dalihnya adalah demi kehidupan anaknya yang lebih
terjamin. Namun, dibalik itu semua tidak ada yang namanya kemerdekaan baginya
(perempuan).
Perempuan Jepang
yang menikah kala itu tidak ada kemerdekaan, adanya hanya setia kepada suaminya
dan tidak boleh menjawab apa yang diperintahkan suaminya. Bahkan kata Bung,
ketika suami membawa sundal pulang ke
rumah untuk ia tiduri, perempuan (istri) hanya bisa melihat, tidak bisa
menolak. Ia hanya bisa menyungging senyum dihadapan suami dan sundalnya. Ia hanya bisa mendengarkan
setiap derit ranjang dan ratapan sakit kenikmatan dalam pergumulan itu. Bagaimana
rasanya seorang perempuan (istri) yang hanya bisa menaati perintah suami tanpa
punya kemerdekaan sepersen pun? Hanya diam dan merutuki nasibnya yang menyiksa.
Itu hanya salah satu dari ekses patriarkat yang tidak beradab menurut Bung.
Lalu bagaimana
dengan matriarkat? Bung menggambarkan tentang ebgitu tidk berdayanya lelaki
saat itu dengan sistem matriarkat. Hanya ada seorang ratu dengan beribu-ribu
lelaki di sekelilingnya, memujanya dan mendewakannya. Siapa saja boleh untuk
memberikan keturunan dan berhubungan dengan ratunya. Jelas sudah, ini tidak
benar. Ketidak jelasan akan siapa ayah sebenarnya dari yang dilahirkan sang
ratu, menurut Bung adalah suatu permasalahan serius. Itu hanya satu dari
sempalan pemikiran matriarkat yang tidak dibenarkan dan dilarang untuk diikuti
bagi kita. Kita cukupkan sekian pembahasan kali ini.
Kata Bung, bukan
dengan menghidupkan kembali patriarkat maupun matriarkat. Namun, caranya kita
mesti memerdekakan perempuan dari perbudakannya sekarang ini. Bukan dengan memelihara
satu sistem yang bias akan lainnya. Kita mesti mencari ikhtiar memerdekakan
kaum perempuan dengan basis masyarakat sekarang atau dengan basis masyarakat
yang akan datang. Soal perempuan itu soal yang amat penting. Soal perempuan itu soal masyarakat!
Beberapa pekan ini
memang topik tentang perempuan sedang menghangat dan naik permukaan. Seperti
tahu yang digoreng dalam minyak panas, ketika sudah matang, ia akan mengapung.
Panas, namun kriuk dan sedap saat dimakan. Lalu, bagaimana dengan kemerdekaan
perempuan saat ini? Andai saja ini, Bung masih hidup dan tahu kegaduhan negeri
ini tentang perempuan, bagaimana pendapat Bung? Apakah akan dengan lantang
menyuarakan pengesahan undang-undang yang melindungi perempuan atau hanya diam
saja? Ya, itu hanya “andaikan” saja.
Satu hal dari beberapa hal yang saya kenang dari Bung,
seperti yang diucapkan oleh Ibu Inggit, “Yang
saya kenang hanyalah kebaikan dan kehebatan Bung Karno.”
Muhamad Ajip,
Tulungagung, Ahad, 13 Dzul Qa’dah 1441 H/5 Juli 2020
M. Quraish Shihab - Perempuan
Ir. Soekarno - Sarinah
Sosok Bung Karno memang identik dengan perempuan-perempuan di masa hidupnya. Terimakasih atas tulisannya, saya pribadi yg awalnya menganggap Bung Karno sebagai pecinta perempuan, jadi lebih tertarik tentang bagaimana sejatinya Bung Karno soal perempuan. Buku Sarinah dari beliau belum selesai aku baca, 😁
BalasHapusInggit, Fatmawati hanya dua dari banyaknya perempuan yang menemani langkah Sang Proklamator. Satu yang saya catat, bahwa beliau sangat menghormati hak perempuan.
Hapus