Orang Tua dan Anak Sama Sedang Belajarnya !

“Kalau belajar yang benar biar ndak hilang jawabannya!” Perintah wanita itu pada seorang bocah.

“Ibu lah, marah-marah, jadi hilang jawabannya. Tuh kan hilang otaknya!” Maklum, anak kecil yang masih terbawa suasana hati dan emosi (moody). Jadi, apa yang dirasakannya itu yang diucapkan.

Sementara itu terdengar suara seorang laki-laki yang sedang merekam polah ibu dan anak tersebut. Otaknya hilang !

Terlihat ibu-ibu sedang mengaji (belajar)

Seorang anak kecil yang ikut Ummiknya mengajar


Beberapa hari ini sempat terfikirkan bagaimana masa depan pendidikan? Banyak dari generasi sekarang memikirkan profesi daripada kebermanfaatan ilmu. Apabila benar begitu, masihkah bisa disebut manusiawi? Di masa yang sulit seperti ini, negara sedang dilanda wabah yang membuat sulit berbagai sektor di dunia. Terutama yang paling terdampak adalah ekonomi. Tidak bisa lepas dari itu, sektor pendidikan pun juga ikut terdampak.

Pengalihan metode belajar yang awalnya dilakukan secara langsung, bertatap muka antara guru dan murid dalam sebuah majelis ilmu, beberapa waktu ini dilakukan dalam jaringan (daring). Selain beban ekonomi untuk kebutuhan diri dan pemenuhan fasilitas untuk belajar, orang tua pasti juga disibukkan dengan beban pikiran menjadi guru di rumah. Peran awal yang dilakukan orang tua sebagai pencari nafkah, sekarang benar-benar bertambah. Apabilal boleh dibilang, bukan bertambah, namun kembali ke sejatinya peran orang tua. Hak anak atas orang tuanya selain mendapatkan nama yang baik dan pemenuhan kebutuhan diri, ada juga pendidikan. [Tinggal dicari dalil utamanya tentang hal ini].

Beban mencari nafkah yang dipikul oleh kepala keluarga, berangkat petang hari ditemani semburat fajar matahari, pulang pun tidak jarang menjelang gelap pula. Bisa dipastikan letih menempel pada diri. Bagaimana dengan satunya (ibu)? Bangun petang demi menyiapkan menu sarapan, membersihkan rumah, ini dan itu dilakukan bersamaan dengan dua tangan yang terbatas hingga semua beres. Hebat! Bagaiamana jika dibayangkan? Letih juga sudah pasti hinggap pada diri.

Anak sekarang yang rutinitasnya bareng dengan orang tua mendapatkan porsi waktu yang lebih banyak. Tidak jarang ada orang tua yang mengeluh pusing memikirkan anaknya yang sulit untuk belajar, sulit untuk memahami. Hingga, tidak jarang anak dibentak dan mendengarkan kata-kata yang tidak sepatutnya didengar oleh mereka.

 Meskipun dalam keadaan letih diri, namun tidak semestinya mengucapkan perkataan yang bisa mempengaruhi keadaan anak menjadi lebih buruk lagi. Pernah beredar sebuah video seorang anak yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah. Berdiri disampingnya seorang perempuan (mungkin itu ibunya). Sang anak berkata, “Janganlah mamak marah-marah, hilang sudah jawabannya !” Seru anak itu pada ibunya.

“Kalau belajar yang benar biar ndak hilang jawabannya!” Perintah wanita itu pada bocah tersebut.

“Ibu lah, marah-marah, jadi hilang jawabannya. Tuh kan hilang otaknya!” Maklum, anak kecil yang masih terbawa suasana hati dan emosi (moody). Jadi, apa yang dirasakannya itu yang diucapkan.

Jadi hilang otaknya. Sementara itu terdengar suara seorang laki-laki yang sedang merekam polah ibu dan anak tersebut. Otaknya hilang !

Boleh saja keras dan disiplin dalam mendidik anak. Namun, selain perintah, anak juga perlu mendapatkan penjelasan. Hasilnya akan sama saja nol besar apabila memberi perintah namun tidak ada penjelasan dibalik itu semua. Karena tidak semua orang mendapatkan hidayah seketika dari suatu peristiwa. Perlu runtutan penjelasan yang membuatnya paham.

Seletih apapun, bersikap yang patut untuk dicontoh oleh anak, saya rasa itu lebih diperlukan. Daripada hanya memberikan perintah. Bukankah quality time adalah moment dimana indah ketika dikenang namun tidak bisa diulangi dengan presisi kejadian yang sama. Maka, baiknya berpatutlah pada anak ketika mendidik. Kita semua tahu, masa di tahun ini sangat sulit. Namun, sesulit apapun, masih ada keluarga dan orang sekitar yang menguatkan agar tidak tumbang. Lihat saja, banyak sekali kisah inspiratif “seorang ayah membawa sekarung uang koin ke konter hp, demi membelikan smartphone anaknya.” Tidak lain agar anaknya bisa mengikuti pembelajaran secara daring. Bukankah dibalik perjuangan dalam menghadapi kesulitan itu ada kebahagiaan sendiri ketika melihat yang terkasih dengan wajah ceria sukses di masa depannya. Orang tua dan anak sedang sama-sama belajarnya, lumrah apabila masih ada sedikit salahnya. Semangat!

Kenapa jadi curhat tulisan kali ini? Ya sudah, tidak apa-apa. Itu yang sedang ada dalam pikiran saya kali ini. Terima kasih, bukan maksud menggurui. Ambil yang baik, jangan ambil yang kurang baik dari tulisan ini. Apabila ada kelebihan dan kembalian, itu untuk pembaca semua.

 

Muhamad Ajip

Tulungagung, 20 Dzul Qa’dah 1441 H/12 Juli 2020

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAGANG (Kepailitan)

Sebuah catatan: Pengabdian di Perbatasan Negeri Jiran

SEPEDA TURANGGA, SOEHARTO DAN BUDAYA BERSEPEDA DULU HINGGA SEKARANG