PERJANJIAN BAWAH TANGAN

PERJANJIAN BAWAH TANGAN
Hasil wawancara dengan salah pihak yang terikat perjanjian bawah tangan yang pernah dilakukannya, yaitu Pak Agus sebagai narasumber dari pihak Debitur. Pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian yang dibuat adalah seperti di bawah ini :

DEBITUR
Nama               : M. Agus Salim
Alamat             : Dsn. Rejotangan, RT 3/RW 2, Ds. Rejotangan, Kec. Kademangan, Kab. Blitar

KREDITUR
Nama               : Heru Purwadi
Alamat             : Ds. Tumpang, RT 4/RW 4, Kec. Talun, Kab. Blitar

Di dalam wawancara ini, kami sedikit banyak bertanya kepada narasumber tentang perjanjian bawah tangan yang telah dilakukannya beberapa tahun lalu. Beberapa pertanyaan yang diajukan akan dijabarkan seperti di bawah ini. Berikut pertanyaan yang kami ajukan beserta jawaban dari pihak (Debitur) yang telah melakukan perjanjian :
PERTANYAAN
1.         Bagaimana awal mula terjadinya perjanjian yang bapak lakukan ?
Pak Agus menerangkan  bahwa pada waktu itu beliau membutuhkan uang untuk pembayaran pendaftaran uang kuliah anaknya yang akan masuk di salah satu universitas di Jawa Timur, ketika itu memerlukan uang sekitar ± 30 juta. Pada waktu itu beliau sebagai ayah tidak mempunyai uang segitu, tapi beliau punya tanah dengan luas 100 M2. Kemudian Pak Agus berinisiatif untuk meminjam uang ke temannya yang bekerja sebagai kontraktor, sebesar ± 40 juta, kemudian saat itu juga Pak Agus melakukan perjanjian dengan Pak Heru (Kreditur). Selasa, 17 September 2013.
2.         Perjanjian apa yang bapak lakukan pada waktu itu ?
Keterangan yang kami peroleh dari Pak Agus (Debitur), “Kami mengadakan perjanjian utang piutang dengan saya menyertakan tanah sebagai jaminannya”. Disini Pak Agus selaku sebagai debitur menerangkan bahwa beliau dengan Pak Heru (Kreditur) melakukan perjanjian utang piutang, dengan jaminan tanah yang dimiliki Pak Agus.
3.         Apakah ada hak dan kewajiban masing-masing yang dipersyaratkan dalam perjanjian itu ?
Tutur Pak Agus sebagai narasumber dari pihak Debitur, “Dalam perjanjian itu kami membuat kesepakatan, bahwa saya sebagai orang yang berhutang (Debitur)  mempunyai beberapa hak dan kewajiban yang harus saya penuhi, yaitu :
Kewajiban :
1.      Membayar hutang sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Pada saat itu kami menyepakati bahwa 1 (satu ) tahun lagi sudah lunas terhitung sejak perjanjian itu dibuat.
2.      Menyerahkan sertifikat tanah yang dijaminkan kepada teman saya (Kreditur).
Selanjutnya Hak saya adalah :
1.      Mendapatkan pinjaman uang sebesar 40 juta dari teman saya.
2.      Mengolah tanah yang saya jaminkan. Karena tanah tersebut masih dalam penguasaan saya dan hasilnya 100% untuk saya sendiri.
Kewajiban untuk teman saya :
1.      Memberi pinjaman uang 40 juta kepada saya.
2.      Menjaga dan menyimpan surat-surat tanah milik saya.
Hak yang dia dapatkan (Kreditur) :
1.      Menerima jaminan dari saya yang berupa tanah dengan menyerahkan surat-surat tanah itu.
2.      Mendapat pengembalian uang (pelunasan) yang dipinjamkan sesuai waktu yang telah disepakati.” Begitu keterangan yang kami peroleh terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing yang dipersyaratkan di dalam perjanjian tersebut.
4.         Bagaimana pengelolaan tanah yang dijaminkan tersebut ?
“Seperti yang saya jelaskan tadi, penguasaan dan pengelolaannya di saya, tapi surat-suratnya dibawa oleh teman saya.” Ujar Pak Agus.
5.         Bagaimana upaya pelunasan yang bapak lakukan ?
Disini Pak Agus menjelaskan bahwa ketika itu beliau tidak bisa membayar secara langsung lunas dan beliau diperbolehkan untuk mencicil, tetapi ketika belum genap waktu 1 (satu) tahun ternyata beliau sudah bisa melunasi semua utangnya tersebut.
6.         Bagaimana mekanisme eksekusi jika terjadi wanprestasi ?
Pak Agus menuturkan ketia salah satu dari kami melanggar hak dan kewajiban dalam perjanjian tersebut, jika tidak terlalu parah bisa ditolelir, tetapi jika itu berat maka teman saya bisa mengeksekusinya. Dengan cara dijual, dan jika hasilnya lebih, maka kelebihan dari penjualan tersebut akan dikembalikan kepada kreditur.
7.         Bagaimana mekanisme publikasi dari perjanjian yang bapak buat ?
Pak Agus menjelaskan bahwa perjanjian yang dilakukannya tersebut tidak dipublikasikan, hanya pemberitahuan kepada perangkat desa, dan membuat perjanjian bermaterai di rumah kreditur, dengan disaksikan oleh perangkat desa.
8.         Mengapa tidak didaftarkan kepada Badan Pertanahan ?
Beliau beralasan, ”Kalau didaftarkan membutuhkan biaya dan bunga, itu mas alasan untuk tidak didaftarkan.”
9.         Bagaimana peran perangkat desa setempat ?
Disini Pak Agus menjawab dengan singkat, bahwa peran perangkat desa disini hanya sebagai saksi saja, tidak lebih dari itu.
10.     Bagaimana pengetahuan bapak (Debitur) tentang hukum positif dan hukum adat ?
Keterangan Pak Agus, “Kalau hukum positifnya saya tidak tahu mas, tapi kalau hukum adatnya ya kebiasaan dari masyarakat setempat mas, yaitu harus ada jaminannya, agar mempunyai rasa percaya dan bisa sedikit menjadi jaminan untuk dilunasi.”

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan berdasarkan diskusi yang telah kami lakukan. Berikut kesimpulan dari hasil diskusi kami :
Penanda tanganan perjanjian dibuat di rumah Pak Heru sebagai kreditur pada tanggal 17 SEPTEMBER 2013, membuat perjainjian antara Pak Agus (Debitur) dengan Pak Heru Purwadi (Kreditur). Dari hak Pak Agus (Debitur) mendapatkan pinjaman uang, mengelola tanah yang menjadi jaminan, kewajiban dari debitur adalah memberikan jaminan sertifikat tanah, melunasi hutang selama jangka waktu 1 tahun. Dari hak Pak Heru (Kreditur), kewajibannya adalah memberi hutang sebesar 40 juta, menjaga sertifikat dan surat-surat tanah yang menjadi jaminan yang dia pegang, haknya adalah mendapatkan pengembalian hutang, dan merawat benda jaminan berupa sertifikat dan surat-surat tanah. Upaya peluanasan (Debitur) di ijinkan membayar secara mencicil atau kredit (tanpa bunga) selama jangka waktu 1 (satu) tahun. Sebelum jatuh tempo ternyata sudah terpenuhi pelunasannya. Tetapi jika terjadi wanprestasi, eksekusi yang disepakati (Karena teman) ketika jatuh tempo belum dibayar maka barang akan dieksekusi dengan cara dijual, dan jika tersisa maka akan dikembalikan, tetapi jika terjadi wanprestasi yang kadarnya itu tidak terlalu merugikan maka akan ditolerir. Publikasi, hanya pemberitahuan kepada pihak desa dengan perjanjian bermaterai di rummah kreditur dengan perangkat desa sebagai saksi. Kenapa perjanjian di bawah tangan ? beliau (Debitur) takut dengan pengurusan pendaftaran di Badan Pertanahan yang sulit dan berbelit, serta dengan bunga yang akan diperolehnya. Peran perangkat desa hanya sebagai saksi  dalam perjanjian. Pengetahuan Debitur terhadap peraturan yang mengatur bagaimana ? beliau hanya mengatahui tentang hukumm adat, dengan cara hutang piutang seperti biasa, dengan pelunasan seperti biasa.

ANALISIS
Analisis secara sosiologis dan normatif
Jika dilihat dari sudut pandang social masyarakat sendiri, praktek-praktek perjanjian seperti ini banyak sekali terjadi di dalam masyarakat kita. Karena praktek-praktek seperti ini sangat mudah dilakukan, tidak perlu biaya administrasi yang mahal, tidak perlu bersusah payah dengan prosedur admistrasi, debitur dengan mudah dan cepat dapat segera memperoleh yang dibutuhkannya yaitu pinjaman uang (utang). Praktek perjanjian seperti di atas memang membantu bagi kalangan masyarakat kecil-menengah. Tetapi, jika dilihat dari segi normative, perjanjian seperti ini belum mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Menyambung dari itu semua juga terdapat asas publicitet, yaitu perjanjian yang menggunakan hak tanggungan harus didaftarkan di tempat yang telah diakui oleh undang-undang dan Negara. Bukan hanya asas Publicitet, tetapi juga asas Specialitet yaitu wajib dicantumkannya beberapa yang dijamin dan benda yang dijadikan jaminan, identitas para pihak, yang wajib dicantumkan di dalam Akta Pemberi Hak Tanggungan. Kemudian mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT), Pasal 1 angka (1) memberikan definisi,  “ Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. ”. Kemudian dijelaskan Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu :
1)      Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah(PPAT) sesuai dengan peraturan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 10 ayat (2) UUHT); 
2)      Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi : 
a.       Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan; 
b.      Domisili para pihak, pemegang dan pemberi hak tanggungan; 
c.       Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan; 
d.      Nilai Tanggungan; 
e.       Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. 
Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dan jika hutangnya belum disebutkan nilai tanggungan serta uraian yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek hak tanggungan.
3)      Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota); 
4)      Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memiliki objek hak tanggungan apabila debitor cidera janji (Pasal 12 UUHT). 
 Disini materai yang tertera hanya sebagai bukti pembayaran pajak administrative saja, bukan sebagai penunjuk bahwa akta perjanjian yang dibuat itu adalah akta otentik. Karena disana tadi tidak disebutkan berapa saksi yang menyaksikan dibuatnya perjanjian tersebut, apakah saksi juga menandatangani dalam perjanjian tersebut.

Analisis dari segi Keadilan
            Karena antara Debitur dan Kreditur adalah teman sendiri, maka jika dilihat dari segi keadilannya sudah adil. Dilihat dari Hak dan Kewajiban antara Kerditur dan Debitur. Dimana Hak dari Kreditur adalah memperoleh pelunasan atas pinjaman yang telah diberikannya, kemudian berhak membawa surat-surat tanah yang dijaminkan yang nyatanya diberikan surat-surat tanah tersebut oleh debitur kepada kreditur. Sedangakan Kewajiban dari Kreditur adalah memberikan uang pinjaman, dan merawat atau menjaga surat-surat tanah agar tidak rusak atau hilang. Untuk Hak dari Debitur adalah berhak memperoleh uang pinjaman, berhak untuk mengelola tanah yang diperjanjikan tersebut. Sedangkan Kewajibannya adalah melunasi hutangnya sebelum jatuh tempo, memberikan surat-surat tanah kepada kreditur (asas inbezitsteling). Dengan terpenuhinya itu semua maka cukup adil perjanjian yang dibuat ini. Alas an yang lain adalah disini antara Kreditur dan Debitur  adalah teman sendiri. Bukan antara masyarakat (orang biasa) dengan kolongmerat. Jadi ada unsure membantu dan segan antara kreditur dan debitur.

Sekian pemaparan dari tugas hukum jaminan. Terimakasih.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM DAGANG (Kepailitan)

Sebuah catatan: Pengabdian di Perbatasan Negeri Jiran

SEPEDA TURANGGA, SOEHARTO DAN BUDAYA BERSEPEDA DULU HINGGA SEKARANG